Our Theatre Heroes From Indonesia

George Kamarullah (lahir di Kota Ambon, Indonesia, 30 Juli 1949; umur 61 tahun) adalah seorang mantan aktor yang beralih profesi sebagai sinematografer. George pernah bekerja dengan seorang sutradara kawakan yaitu Slamet Rahardjo, ia juga pernah menjadi asisten art and still photography Cinta Pertama (1973). Dia sebagai orang pertama yang memakai teknik pencahayaan bounching dan kertas kalkir.
George menikahi seorang gadis asal Jawa bernama Atika yang telah meninggal beberapa tahun yang lalu dan memiliki dua orang anak laki-laki. Ia pernah bekerja diperusahaan televisi Metro TV dan sekarang ia masih aktif di stasiun televisi TvOne. Karakater Bang One di salah satu segmen TvOne, tak lepas dari peran andil George sendiri.[1]
Ditahun 2004 dan 2005, George perah menjadi Panitia Pemilihan Komite Seleksi Festival Film Indonesia (FFI),[2] kemudian di tahun 2009, ia menjadi Dewan Juri Anugerah Adiwarta Sampoerna, sebagai Dewan Juri Televisi, bersama dengan Arswendo Atmowiloto, Bambang Harimurty, Marselli Sumarno dan Fetty Fajriati.


 Teguh KaryaSteve Liem Tjoan Hok (lebih dikenal dengan nama Teguh Karya; lahir di Pandeglang, Jawa Barat, 22 September 1937 – meninggal di Jakarta, 11 Desember 2001 pada umur 64 tahun) adalah seorang sutradara film legendaris Indonesia. Teguh Karya adalah pemimpin Teater Populer sejak berdirinya tahun 1968. Ia enam kali menjadi Sutradara Terbaik dalam Festival Film Indonesia . Film-filmnya melahirkan banyak aktor
dan aktris terkemuka Indonesia seperti Slamet Rahardjo, Christine Hakim, dan Alex Komang.


Sari Madjid
Sari Madjid yang lahir dengan nama lengkap Sari Sabda Bhakti Madjid pada 25 Februari 1962 di Jakarta, adalah seorang aktris drama yang berkembang lewat Teater Koma di bawah asuhan N. Riantiarno.

Terjun ke dunia teater

Sari dilahirkan dari keluarga Abdul Madjid, tokoh PNI dan PDI yang belakangan bergabung dengan PDI-P. Namun sejak usia 10 tahun Sari telah terjun ke dunia drama. Pada tahun 1978 ia menjadi anggota Teater Koma yang dipimpin oleh N. Riantiarno dan kakaknya, Ratna Madjid.
Sari hampir tidak pernah absen dari setiap pementasan Teater Koma. Salah satu peranannya yang paling terkenal adalah sebagai Engtay dalam sandiwara "Sampek Engtay".


  
Jose Rizal Manua 

Jose Rizal Manua (lahir di Padang, Sumatera Barat, 14 September 1954; umur 56 tahun) adalah seorang pujangga, sekaligus pendiri teater anak-anak, Teater Tanah Air, yang meraih juara pertama pada Festival Teater Anak-anak Dunia ke-9 di Lingen, Jerman, pada tanggal 14-22 Juli 2006[1]. Selain itu ia juga adalah seorang pemeran dan pengisi siuara dalam beberapa film.

 

Arifin C. Noer
Arifin Chairin Noer (lahir di Cirebon, Jawa Barat, 10 Maret 1941 – meninggal di Jakarta, 28 Mei 1995 pada umur 54 tahun), atau lebih dikenal sebagai Arifin C. Noer, adalah sutradara teater dan film asal Indonesia yang beberapa kali memenangkan Piala Citra untuk penghargaan film terbaik dan penulis skenario terbaik.
Salah satu film Arifin yang paling kontroversial adalah Pengkhianatan G 30 S/PKI (1984). Film ini diwajibkan oleh pemerintah Orde Baru untuk diputar di semua stasiun televisi setiap tahun pada tanggal 30 September untuk memperingati insiden Gerakan 30 September pada tahun 1965. Peraturan ini kemudian dihapus pada tahun 1997.
Selain itu Arifin jugalah yang pertama mengenali bakat aktris Joice Erna dan mengangkatnya ke jenjang popularitas dengan film Suci Sang Primadona di tahun 1977.
Latar belakang teaternya yang kuat ia raih dengan pertama bergabung dengan kelompok bentukan Rendra dan juga kemudian menulis dan menyutradari lakon-lakonnya sendiri seperti Kapai Kapai, Tengul, Madekur dan Tarkeni, Umang-Umang dan Sandek Pemuda Pekerja.
Istrinya adalah aktris Jajang C. Noer.Darinya Arifin mendapat dua anak : Nitta Nazyra dan Marah Laut.


 W. S. Rendra 
Rendra (Willibrordus Surendra Bawana Rendra), lahir di Solo, Jawa Tengah, 7 November 1935 – meninggal di Depok, Jawa Barat, 6 Agustus 2009 pada umur 73 tahun) adalah penyair ternama yang kerap dijuluki sebagai "Burung Merak". Ia mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta pada tahun 1967. Ketika kelompok teaternya kocar-kacir karena tekanan politik, kemudian ia mendirikan Bengkel Teater Rendra di Depok, pada bulan Oktober 1985. Semenjak masa kuliah ia sudah aktif menulis cerpen dan esai di berbagai majalah.


Norbertus Riantiarno
Norbertus Riantiarno (lahir di Cirebon, Jawa Barat, 6 Juni 1949; umur 61 tahun), atau biasa dipanggil Nano, adalah seorang aktor, penulis, sutradara dan tokoh teater Indonesia, pendiri Teater Koma (1977). Dia adalah suami dari aktris Ratna Riantiarno.



Ratna Riantiarno

Ratna Riantiarno (Lahir di Manado, Sulawesi Utara, 23 April 1952) adalah aktris, manajer seni pentas, aktivis teater Indonesia.
Semula, mengenal dunia kesenian lewat seni tari. Dengan menari, dia berkeliling dunia, kemudian di sempat berdomisili di New York, AS, selama dua tahun, 1974-1975. Guru tari (Bali) yang pertama adalah I Wayan Supartha. Main drama pertama kali di Teater Kecil dalam lakon Kapai Kapai, 1969. Sesudah itu dia sering memainkan peranan penting dalam lakon-lakon karya Arifin C. Noer, sutradara kenamaan asal Cirebon yang dia anggap sebagai guru teaternya, ia antara lain; Sumur Tanpa Dasar, Mega-Mega, Madekur Tarkeni, dan Kocak-Kacik.
Bersama Teater Kecil, ikut pentas Sumur Tanpa Dasar keliling Amerika dalam KIAS (Kesenian Indonesia di Amerika Serikat), 1992. Pada 1997, berkeliling Jepang atas undangan Japan Foundation. Dan pada tahun 2000, memperoleh grant dari Pemerintah Amerika Serikat untuk kunjungan budaya selama sebulan dalam program bertajuk The Role of Theatre in US Society.
Ikut mendirikan Teater Koma, 1 Maret 1977. Bermain dalam banyak lakon karya penulis drama dan sutradara N. Riantiarno, yang kemudian menjadi suaminya pada 1978. Antara lain; Rumah Kertas, Bom Waktu, Opera Kecoa, Opera Primadona, Sampek Engtay, Konglomerat Burisrawa, Suksesi, Kala, Republik Bagong, Presiden Burung-Burung, Republik Togog dan Maaf.Maaf.Maaf. Dia juga memainkan peran penting dari karya para penulis drama kelas dunia. Antara lain; Orang Kaya Baru dan Tartuffe/Moliere, Perang Troya Tidak Akan Meletus/Jean Girodoux, Teroris/Jean Paul Sartre, Brown Yang Agung/Euegene O’Neill, Exit The King dan Makbeth/Eugene Ionesco, The Threepenny Opera dan The Good Person of Szechwan/Bertolt Brecht, The Crucible/Arthur Miller, Romeo Juliet/William Shakespeare dan Women in Parliament/Aristophanes.
Sebagai aktris, selain panggung, dunia film dijelajahinya pula. Dia bermain dalam film-film; Akibat Buah Terlarang, Jangan Ambil Nyawaku, Petualang-Petualang, Jakarta 66, Opera Jakarta, Petualangan Sherina, Brownies. Di dalam kelompok Teater Koma, dia manajer grup sekaligus ‘ibu’ yang penuh perhatian kepada para anggota. Pernah bekerja sebagai asisten kehumasan Majalah Pertiwi, dan direktris perusahaan PR, RR & Associates. Dia memimpin pengelolaan sebuah Forum Apresiasi Seni Pertunjukan, yang sudah diperjuangkannya sejak 1997 dan didanai oleh Ford Foundation.
Pernah menjabat Ketua Dewan Kesenian Jakarta, periode 1996-2003. Mengelola berbagai festival seni-pertunjukan; musik, tari, teater, berskala nasional dan internasional. Dia ikut mengelola Pertemuan Sastrawan Nusantara di Padang, Festival Teater Indonesia di Solo dan Yogyakarta, dan Musyawarah Dewan-Dewan Kesenian se-Indonesia di Medan dan Makassar. Dia ikut mengelola pelaksanaan Art Summit Indonesia (Festival Seni Pertunjukan Kontemporer Internasional) sejak awal, 1998. Dia mengelola berbagai kolaborasi seni pentas, antara lain PRISM, yang mementaskan hasil kolaborasinya di Tokyo, Bangkok, Kuala Lumpur, Singapore, Manila dan Jakarta. Juga terlibat sebagai salah satu pengelola Kolaborasi Forum Sutradara Muda Asia, yang hasil eksplorasinya akan dipentaskan di Tokyo dan kota-kota lain di Asia.



Asrul Sani

Asrul Sani (lahir di Rao, Sumatra Barat, 10 Juni 1926 – meninggal di Jakarta, 11 Januari 2004 pada umur 77 tahun) adalah seorang sastrawan dan sutradara film asal Indonesia. Menyelesaikan studi di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Indonesia (1955). Pernah mengikuti seminar internasional mengenai kebudayaan di Universitas Harvard (1954), memperdalam pengetahuan tentang dramaturgi dan sinematografi di Universitas California Selatan, Los Angeles, Amerika Serikat (1956), kemudian membantu Sticusa di Amsterdam (1957-1958).
Bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin, ia mendirikan "Gelanggang Seniman" (1946) dan secara bersama-sama pula menjadi redaktur "Gelanggang" dalam warta sepekan Siasat. Selain itu, Asrul pun pernah menjadi redaktur majalah Pujangga Baru, Gema Suasana (kemudian Gema), Gelanggang (1966-1967), dan terakhir sebagai pemimpin umum Citra Film (1981-1982).
Asrul pernah menjadi Direktur Akademi Teater Nasional Indonesia, Ketua Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi), anggota Badan Sensor Film, Ketua Dewan Kesenian Jakarta, anggota Dewan Film Indonesia, dan anggota Akademi Jakarta (seumur hidup).
Karyanya: Tiga Menguak Takdir (kumpulan sajak bersama Chairil Anwar dan Rivai Avin, 1950), Dari Suatu Masa dari Suatu Tempat (kumpulan cerpen, 1972), Mantera (kumpulan sajak, 1975), Mahkamah (drama, 1988), Jenderal Nagabonar (skenario film, 1988), dan Surat-Surat Kepercayaan (kumpulan esai, 1997).
Buku mengenai Asrul: M.S. Hutagalung, Tanggapan Dunia Asrul Sani (1967) dan Ajip Rosidi dkk. (ed.), Asrul Sani 70 Tahun, Penghargaan dan Penghormatan (1997).
Di samping menulis sajak, cerpen, dan esai, Asrul juga dikenal sebagai penerjemah dan sutradara film. Terjemahannya: Laut Membisu (karya Vercors, 1949), Pangeran Muda (terjemahan bersama Siti Nuraini; karya Antoine de St-Exupery, 1952), Enam Pelajaran bagi Calon Aktor (karya Ricard Boleslavsky, 1960), Rumah Perawan (novel Yasunari Kawabata, 1977), Villa des Roses (novel Willem Elschot, 1977), Puteri Pulau (novel Maria Dermount, 1977), Kuil Kencana (novel Yukio Mishima, 1978), Pintu Tertutup (drama Jean Paul Sartre, 1979), Julius Caesar (drama William Shakespeare, 1979), Sang Anak (karya Rabindranath Tagore, 1979), Catatan dari Bawah Tanah (novel Fyodor Dostoyeski, 1979), Keindahan dan Kepiluan (novel Yasunari Kawabata, 1980), dan Inspektur Jenderal (drama Nicolai Gogol, 1986).
Film yang disutradarainya: "Pagar Kawat Berduri" (1963), "Apa Jang Kau Tjari, Palupi?" (1970), "Salah Asuhan" (1974), "Bulan di Atas Kuburan" (1976), "Kemelut Hidup" (1978), "Di Bawah Lindungan Kaabah" (1978), dan lain-lain.
Tahun 2000 Asrul menerima penghargaan Bintang Mahaputra dari Pemerintah RI.



Wawan Sofwan

Wawan Sofwan (lahir di Ciamis, Jawa Barat, 17 Oktober 1965), adalah aktor dan sutradara teater Indonesia. Lulusan kimia dari UPI Bandung pada tahun 1991, ia mulai aktif dalam bidang teater sejak tahun 1984 di Student Theater IKIP Bandung dan kemudian pada tahun 1986 melanjutkan pembelajaran teater di Studiklub Teater Bandung, yang merupakan salah satu teater modern yang tertua di Indonesia.
Naskah drama yang telah dipentaskannya adalah 'King Lear', Impian di Tengah Musim, Julius Caesar, Doa Carlos dan lain-lain. Ia mulai mendalami monolog pada tahun 1994. Monolog yang sudah dipentaskannya adalah Oknum, Dam, Laporan untuk Akademi, Zarathustra, Indonesia Menggugat,Kontrabass dan " The Story of Tiger".
Tahun 1999 ia mulai meyutradarai> pentas yang pernah disutradarainya , al: Art (Yasmina Reza), Disco Pigs (Enda Wals), Faust I (Goethe), Fragmen opera La Boheme (Pucini),Saudagar Venesia (Shakespeare), Musical "Honk", Musical "Mary did you know", Nuri dan Lokomotif Lipang, Electronic City (F. Richter),Fashion Performance "Ti Iwung Nungtung ka Padung", Opera Dido Aenias (H. Purcel), Konser Bimbo 40 tahun,Nyai Ontosoroh(Pramudya A. Toer/Faiza Marzuki) dan Kehidupan di Teater (David Mamet)
Di samping itu, Wawan Sofwan juga mendapat beasiswa dari Goethe Institut Jerman untuk belajar Bahasa Jerman dan mempelajari Research Theater dari tahun 1995 hingga 1996. Kemudian, antara tahun 1996-2000, ia mulai mengikuti berbagai festival di Australia lalu bergabung dengan main teater Melbourne, dan mendapat anugerah "The Melbourne Fringe Theater Award" serta dicalonkan sebagai "Green Room Award Australia". Pada tahun 2000, ia mengikuti pertemuan atau kursus "International Forum for Theater Worker" di Berlin, Jerman.
Tahun 2005, mendapat beasiswa dari International Theater Institut Germany untuk magang di kelompok Theater musical "Triebwerk Theater-Hamburg" selama 4 bulan.
Pada tahun 2004, ia mengikuti The London International Festival of Theater. Ia juga pernah mengikuti bengkel-bengkel workshop seperti Dramatugi (Manfred Bachmayer& Manfred Linke), Stage Design (Wolf Wanninger), Voice dan Jogling, Puppet, Commedia del Arte(Allesandro Marchetti) dan Acting di Bandung, Jakarta, Melbourne dan Berlin. Mengajar seni drama di Cultural Center University Malaya-Kuala Lumpur dan sutradara tamu pada kelompok Sumunda Theater Company-Kuala Lumpur.
Sekarang ia mengajar di Voice Training di Jakarta, Acting for Singer di Gita Svara, Acting for Film and TV di Tikar School of Acting,Creative team di Tikar Production dan menjadi Sutradara Teater di mainteater Bandung.



Remy Sylado

Yapi Panda Abdiel Tambayong (ER: Japi Tambajong) atau lebih dikenal dengan nama pena Remy Sylado (lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Juli 1945; umur 65 tahun) adalah salah satu sastrawan Indonesia.


 Putu Wijaya

I Gusti Ngurah Putu Wijaya (lahir di Puri Anom, Tabanan, Bali, 11 April 1944; umur 66 tahun) adalah seorang sastrawan yang dikenal serba bisa. Ia adalah bungsu dari lima bersaudara seayah maupun dari tiga bersaudara seibu. Ia tinggal di kompleks perumahan besar, yang dihuni sekitar 200 orang, yang semua anggota keluarganya dekat dan jauh, dan punya kebiasaan membaca. Ayahnya, I Gusti Ngurah Raka, seorang pensiunan punggawa yang keras dalam mendidik anak. Semula, ayahnya mengharapkan Putu jadi dokter. Namun, Putu lemah dalam ilmu pasti. Ia akrab dengan sejarah, bahasa, dan ilmu bumi.
Putu Wijaya sudah menulis kurang lebih 30 novel, 40 naskah drama, sekitar seribu cerpen, ratusan esei, artikel lepas, dan kritik drama. Ia juga telah menulis skenario film dan sinetron. Sebagai seorang dramawan, ia memimpin Teater Mandiri sejak 1971, dan telah mementaskan puluhan lakon di dalam maupun di luar negeri. Puluhan penghargaan ia raih atas karya sastra dan skenario sinetron.
Cerita pendek karangannya kerap mengisi kolom pada Harian Kompas dan Sinar Harapan. Novel-novel karyanya sering muncul di majalah Kartini, Femina, dan Horison. Sebagai penulis skenario, ia telah dua kali meraih piala Citra di Festival Film Indonesia (FFI), untuk Perawan Desa (1980), dan Kembang Kertas (1985). Sebagai seorang penulis fiksi sudah banyak buku yang dihasilkannya. Di antaranya, yang banyak diperbincangkan adalah Bila Malam Bertambah Malam, Telegram, Pabrik, Keok, Tiba-Tiba Malam, Sobat, Nyali.



Yudhi Soenarto

I. Yudhi Soenarto lahir di Jakarta, 19 Februari 19(?). Ia adalah sutradara teater dan anggota Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta (DKJ)[1]. Ia pendiri dan ketua pertama Laboratorium Seni dan Budaya FIB UI (1999-2003), pendiri Teater Sastra UI (1984) dan direktur artistik Yayasan Teater Sastra[2]. Ia juga menjadi pengajar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia dan di Jurusan Teater Institut Kesenian Jakarta (IKJ).

0 Response to "Our Theatre Heroes From Indonesia"

Posting Komentar